Antara
2 hari di akhir pekan yakni Sabtu dan Minggu, aku lebih suka hari Sabtu. Sabtu
adalah hari libur yang lepas dari memikirkan esok harinya. Beda hal
dengan hari Minggu yang meski hari libur namun ada perasaan gundah, karena esok
harinya Senin harus kembali beraktivitas ke kantor bagi si
karyawan, atau ke sekolah bagi si pelajar. Sabtu pekan ini aku mengajak beranjangsana istri serta anak-anakku ke pantai Goa Langir yang
terletak di Lebak, Banten Selatan, tepatnya di sebuah kota kecil bernama Bayah.
Mendengar nama Bayah terlintaslah dalam pikiranku satu nama dari seseorang di zaman
dahulu kala, orang itu bernama Tan Malaka. Bisa dibilang ia pelopor awal
kemerdekaan Indonesia. Di tahun 1921 dia menuangkan pemikiran dalam sebuah tulisan
yang diberi judul “Naar Republik Indonesia”, yang berarti Negara Republik
Indonesia. Jauh sebelum Proklamasi kemerdekaan tahun 1945 dia sudah memikirkan
konsep bentuk Indonesia kelak, maka tak salah jika ada yang menganggapnya Bapak
Republik Indonesia.
Tan Malaka pernah singgah di Bayah dengan nama samaran
Ilyas Hussein. Dia menyamar menjadi pekerja kasar di lokasi penambangan
batu-bara, setelah bertahun-tahun melanglang-buana ke berbagai negara asing. Di
tahun 40an sesaat sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945, suatu malam dia bertamu ke rumah K.H Wahid Hasyim di
Jakarta, yang tak lain ayah dari Abdurahman Wahid atau yang kita kenal sebagai
Gus Dur. Antara K.H Wahid Hasyim dengan Tan Malaka memang sudah terjalin
persahabatan, maksud kedatangannya selain berdiskusi soal bangsa, Tan Malaka mengatasnamakan
Pemuda Bayah juga menyatakan dukungannya atas rencana Proklamasi kemerdekaan
Indonesia agar dilaksanakan sesegera mungkin.
Bayah
adalah kota kecil yang menghadap langsung dengan Samudera Indonesia di pesisir
selatan Pulau Jawa. Kota ini masuk ke dalam wilayah Kabupaten Lebak, provinsi
Banten. Pantai Goa Langir terletak tidak jauh dari pusat kota Bayah. Pantainya
indah, dengan hamparan pasir putih yang panjang, merupakan bagian dari pantai
Sawarna. Di lokasi pantai Goa Langir terdapat 3 Goa lainnya yakni Goa Kanekes,
Goa Harta Karun dan Goa Seribu Candi yang menggenapkan eksotisme suasana pantai
itu.
Goa Langir adalah goa terbesar, mungkin karena itulah nama lokasi pantainya
dinamakan demikian. Aku mengambil rute perjalanan dari arah Malingping, masih
di daerah pesisir selatan Lebak. Bukan tanpa alasan juga aku mengambil rute
ini, karena kebetulan istriku dibesarkan di sebuah desa bernama Panjaungan,
yang terletak antara Malingping dengan Bayah. Setiap hari raya Idul Fitri mesti
kami mudik ke Panjaungan, jadilah aku sudah terbiasa dengan jalur ini. Memang
sekalian juga liburan keluargaku ini menjenguk mertuaku di Panjaungan yang
rencananya kami kunjungi sehabis dari pantai Goa Langir.
Berangkat dari rumah
di bilangan Jakarta Timur pukul 5 subuh, sampai di Malingping sekitar pukul 10
pagi menjelang siang. Sambil melepas lelah dan meluruskan kaki karena penat mengendarai
mobil beberapa jam kami singgah dahulu di sebuah toko serba ada sekalian
membeli bekal makanan ringan. “Wah, panas
ya..”, kataku kepada anak-anak. Hari itu memang cerah, matahari bersinar
dengan teriknya. Aku melirik kepada alat deteksi suhu yang terpasang di mobil,
menunjukan angka 32 derajat celcius. “Jam
berapa sampai di pantai yah?”, tanya anakku yang paling besar. Aku jawab
sekitar jam 12, pas waktu makan siang.
Sepanjang perjalanan dari Malingping ke
Bayah mulai dari suatu desa bernama Sukahujan kami disuguhi pemandangan pantai
dan lautan lepas yang sedap dipandang mata. Sungguh sebuah terapi melepas penat
dari tekanan bagi aku yang sehari-harinya bergelut dengan kemacetan jalan raya
di Jakarta.
“Ayah matikan ac-nya ya. Kita buka kaca aja”,
ujar aku kepada istri dan anak-anak. “Yahh…jangan
yah, gerah”, protes semua di dalam mobil. “Engga, percaya deh”, balasku. Pengatur suhu aku matikan, kaca
mobilnya aku buka. Tidak berapa lama kemudian angin sejuk berhembus mengalir
masuk ke dalam mobil, terasa kesejukan yang alami.
Berbarengan dengan mengalirnya
hembusan angin ke dalam mobil menyeruak pula suatu aroma yang khas, aroma lautan.
Aku tidak dapat menerka dengan pasti sebenarnya aroma apakah itu, apakah
berasal dari pasir pantai, air laut, rumput laut, hanyir ikan, tetumbuhan
pantai, atau gabungan dari semuanya itu. Yang pasti aroma itu mampu menggugah
indera penciumanku hingga memberikan efek rasa ketenangan dan kedamaian.
Senang
rasanya terbebas dari bau asap knalpot kendaraan yang memenuhi udara kota Jakarta.
Aku melirik kepada istriku di sampingku ia Nampak menikmati perjalanan, mungkin
sambil mengenang masa-masa sekolahnya dulu bersama sahabat-sahabatnya. Demikian
juga anak-anakku di kursi belakang, mereka menatap ke arah lautan dengan
deburan ombaknya.
Sudah 8 tahun pernikahanku dengan istriku namun baru kali ini
aku berkesempatan mengajak anak-anakku ke pantai Goa Langir. Jika libur mudik
pantai-pantai di lokasi wisata jadi terlalu ramai oleh para wisatawan baik dari
sekitar Lebak maupun dari luar Lebak, bahkan tidak sedikit wisatawan dari
kota-kota lain di luar Banten. Aku jadi enggan ke lokasi wisata di masa libur
lebaran karena rasanya sudah bosan dengan kepadatan kota Jakarta, tidak ingin
lagi harus berdesakan dengan banyak orang.
Tapi bukan berarti tidak mengajak
piknik keluarga ke pantai samasekali, karena mulai dari Sukahujan sampai ke Bayah
adalah garis pantai yang sangat panjang maka aku mengajak keluargaku
mengunjungi pantai-pantai lain yang sepi namun pemandangannya tidak kalah
indah. Berada di pantai yang sepi rasanya seolah menjadi pantai pribadi.
“Ayah, lihat itu di pinggir pantai ada tembok
tebal seperti bekas jembatan!, apa itu ayah?”, kata anak bungsuku memecah
keheningan. Aku melihat kepada reruntuhan tembok tidak jauh dari pantai yang
ditunjuk anakku. Memang setahuku dari kisah sejarah di zaman kolonial Belanda
di Bayah ini merupakan jalur kereta api untuk mengangkut komoditas batu-bara.
Bekas jalur kereta api sudah mulai tampak mulai dari daerah Saketi. Aku pikir
ini menarik juga sebenarnya jika jalur ini diaktifkan kembali untuk wisata
sejarah, apalagi di jalur Bayah ini pemandangannya lautan lepas pasti akan
sangat menarik wisatawan.
“Iya sayang, itu
bekas jalur kereta api batu-bara zaman Belanda”, terangku kepada si bungsu.
Sejenak pikiranku menerawang, “Gila juga
ya orang Belanda dulu itu, mencari kekayaan negri ini sampai ke pelosok Bayah
begini di zaman kuda gigit besi. Seperti apa wilayah Lebak selatan ini di zaman
dulu?, sekarang saja masih cukup banyak hutan belantara”. Aku pikir Lebak
memang menarik baik dari potensi alamnya seperti pantai-pantainya yang indah
maupun kisah-kisah sejarahnya.
Bicara
secara soal sejarah, di Lebak inilah terjadi dialektika awal lahirnya sebuah
bangsa bernama Indonesia yang tercatat dalam sejarah hingga gaungnya mencapai
negeri-negeri di barat khususnya Eropa. Adalah cikal-bakal kesadaran rakyat
Indonesia sebagai sebuah bangsa yang ingin merdeka dari lepas penjajahan.
Hal
tersebut dikarenakan sebuah novel berjudul “Max Havelaar” yang ditulis seorang
Belanda dengan nama pena Multatuli, nama sebenarnya adalah Eduard Douwes
Dekker. Multatuli berasal dari bahasa latin yang berarti “aku yang telah banyak
menderita.
Max Havelaar pertama kali diterbitkan di tahun 1860, berkisah
tentang kesengsaraan rakyat jelata Lebak akibat penindasan yang dilakukan oleh
penguasa kolonial Belanda maupun penguasa pribumi. Diceritakan dalam novel itu
rakyat Lebak dipaksa menanam kopi sebagai bagian dari sistem tanam paksa
(culture stelsel) untuk kemudian harus dijual kepada penguasa dengan harga
sangat murah, belum lagi pajak tinggi yang harus dibayarkan kepada penguasa
setempat yakni Regent atau Bupati, apabila tidak mampu membayar pajak maka
harta milik rakyat yang paling berharga yakni kerbau akan diambil paksa sebagai
ganti. Sedangkan kerbau kala itu adalah hewan yang sangat berarti bagi rakyat
karena tenaganya digunakan untuk membajak sawah. Dapat dibayangkan betapa
sengsaranya kehidupan rakyat Lebak.
Max Havelaar membuat mata dunia menoleh
kepada East Indies, sebutan untuk Indonesia saat itu. Masyarakat barat bagaikan
terperangah mengetahui ada eksploitasi rakyat yang demikian buruknya di belahan
bumi lain, sampai-sampai di negeri Belanda sendiri terjadi kegemparan yang
memaksa pemerintah kolonial akhirnya mengeluarkan kebijakan Politik Etis atau
Politik Balas Budi.
Politik Etis mengharuskan pemerintah kolonial Belanda lebih
memperhatikan nasib negeri jajahan agar tidak melulu mengeksploitasi kekayaan
alamnya dan menindas rakyat pribuminya. Salah satu poin Politik Etis adalah di
bidang pendidikan, dengan memberikan kesempatan kepada kaum pribumi untuk
mengenyam pendidikan formal di bangku-bangku sekolah. Dari sanalah kelak lahir
kaum intelektual pribumi yang memiliki kesadaran menuntut kesamaan hak sebagai
manusia dan kemerdekaan sebagai bangsa.
*******
Kecepatan
sedang saja aku mengendarai mobil, sambil menikmati suasana jalan raya pesisir
selatan Lebak yang tidak padat oleh kendaraan lain, bebas hambatan dan nyaris
tidak berkelok seolah lurus saja, dengan suguhan pemandangan pantai yang indah.
Tidak terasa sudah di pintu masuk wisata pantai Goa Langir. Aku toleh jam
tanganku, pukul 11 lewat sedikit. Lebih cepat dari perkiraan ternyata.
Di
gerbang lokasi wisata ditunggui oleh beberapa orang petugas retribusi tiket
masuk ke pantai. Tiket masuknya hanya 5000 rupiah per orang saja, untuk mobil tidak
dikenakan biaya alias gratis. Kawasan pantai Goa Langir masih merupakan bagian
dari komplek pantai Sawarna yang sudah lebih dahulu dikenal banyak wisatawan
dengan karang Tanjung Layarnya, namun memiliki daya tarik berbeda pantai
Sawarna.
Di lokasi wisata pantai Goa Langir dari gerbang hingga menuju
pantainya tidak terdapat pemukiman penduduk. Akses jalannya bersisian dengan
bukit batuan karst setinggi kira-kira 25 meter sampai 50 meter. Pada gugusan
perbukitan itulah terdapat 4 buah goa di bagian bawahnya.
Tidak
jauh dari gerbang tadi aku melihat di sisi sebelah kiri jalan terdapat warung
yang memiliki lahan parkir cukup lega untuk mobilku. “Kita parkir di situ aja ya, sekalian makan siang”, kataku kepada
istri. Istriku setuju, terlebih anak-anakku mereka sudah lapar katanya ingin
segera bersantap siang. Kami sengaja membawa makanan dari rumah karena niat
kami memang piknik, “tapi minumnya kita
beli ke warung yang punya lahan parkir ya, ga enak masa parkir di tempatnya
tapi ga jajan ke warungnya,” sambungku.
Terasa nikmat sekali santap siang
kami, karena memang lapar dan pemandangan pantai di tempat kami singgah luar
biasa indah. Panoramanya hamparan pasir putih dan cerahnya siang hari itu
dengan biru langitnya yang sempurna. Pasir putih pantainya seolah memantulkan
kembali sinar matahari yang menerpanya sehingga suasana menjadi seperti
berkilauan. Aku takjub dengan pemandangannya. “Subhanallah, indah banget ya”, gumam istriku. Lokasi tempat kami
makan siang itu dinaungi oleh rindangnya pepohonan, sehingga seberapa teriknya
pun tetap terasa sejuk. “Ini macam surga
dunia, hehe”, candaku.
Selesai
juga bersantap, tiba waktunya menjelajah pantai Goa Langir. Aku ijin parkir
saja mobilku di tempat ini kepada ibu pemilik warung. Ibu warung mempersilahkan
dengan ramah. Tujuan utamaku mengajak keluarga ke pantai Goa Langir adalah
mengunjungi pantainya yang memang terbukti indah. Namun setelah melewati saja 3
goa tanpa masuk ke dalamnya begitu tiba di mulut goa yang letaknya paling ujung
dan terbesar yakni goa Langir ada terbesit rasa penasaran masuk ke dalamnya.
Sayang sekali istri dan anak-anak enggan turut masuk ke dalam goa, “engga ah, takut”, kata mereka kompak. “Ga jauh sampai ke dalam banget, paling 10
meteran aja masuknya, penasaran dalamnya seperti apa”, aku coba membujuk
mereka. Sia-sia mereka tetap enggan. Akhirnya aku memberanikan diri masuk
seorang diri hanya mengandalkan cahaya lampu senter dari telpon genggamku.
Tidak ada persiapan membawa senter memang, karena memang tidak ada niat jelajah
goa. Gentar juga rasanya masuk seorang diri, namun rasa penasaran jauh lebih
kuat, “ya sudah, ga perlu 10 meterlah
masuk ke dalam, cukup hitungan langkah aja, 10 langkah”, aku bertawar nyali
dengan diri sendiri.
Di
mulut goa aku berhenti sejenak untuk berdoa memohon perlindungan kepada Tuhan,
“Bismillah”, gumamku sambil mengambil langkah
pertama. Hawa di serambi goa terasa lembab namun ada semilir angin sejuk
yang berhembus seolah dari dalamnya. Tiba pada langkah ke tujuh aku menapakkan
langkah pada permukaan yang basah dan licin menyebabkan aku kehilangan
keseimbangan, aku terjatuh. Aku coba bangkit namun kepalaku terasa berat, kelopak
mata ini seakan memaksa aku terpejam saja. Kemudian semuanya menjadi gelap.
*******
Sedikit-sedikit
aku mencoba membuka kedua mata ini namun masih terasa sulit rasanya, rasa nyeri
masih sedikit terasa di bagian belakang kepalaku. Nampaknya aku terjatuh di
dalam goa dan kepalaku terantuk batu. Tak lama kemudian samar-samar telingaku
mendengar seperti seseorang sedang berpidato dengan aksen yang cedal.
“Tuanku Raden Adipati Bupati Banten Kidul dan
sekalian para Raden Demang yang menjadi kepala di daerah ini, tuan Raden Jaksa
yang menjadi kepala polisi, serta Raden-raden dan Mantri-mantri serta seluruh
kepala-kepala di daerah Banten Kidul. Terimalah salam hormat dari saya. Saya tahu
diantara tuan-tuan terdapat ketinggian ilmu dan kemurahan hati, dengan demikian
saya harap pengetahuan saya terhadap daerah Banten Kidul akan bertambah dengan ilmu
tuan-tuan semua."
"Saya membaca banyak hal-hal yang baik di Banten Kidul, rakyat
tuan-tuan memiliki sawah-sawah di lembah-lembah dan adapula di gunung-gunung
dan suasana di sini yang demikian damai. Tapi saya lihat rakyat tuan-tuan
sekalian miskin. Mungkin karena itulah Tuhan mengutus saya ke tempat ini dimana
ada banyak keadaan yang harus dibenahi kembali, untuk itu saya merasa gembira
bertugas di tempat ini."
"Di luar sana banyak yang tidak mengerti kemiskinan di
Banten Kidul sebab di sini banyak ladang-ladang dan curah hujan yang cukup,
tanah yang gembur dan subur. Satu biji padi yang ditanam akan menghasilkan satu
batang padi, sungguh mengherankan jika Banten Kidul miskin. Saya yakin ini bukan
karena Tuhan menimpakan bencana kepada kita sehingga kita harus berkata; Yang demikianlah
sudah kehendak-Nya. Negri kita ini miskin karena banyak kesalahan yang kita
lakukan."
Terhenyak
aku mendengar pidato seperti itu. Dari mulut siapakah gerangan kalimat-kalimat
itu keluar. Sementara aku masih dalam posisi tidur terlentang pada kasur sambil
menatap ke atas. Aku mulai merasa ada kejanggalan dengan tempat ini. Model
dipan kasurnya seperti sudah sangat tua, terdapat tiang di tiap sikunya dengan
atap dan kelambu. Aku paksakan juga untuk duduk disisi dipan, ku sapu segala
penjuru kamar, menatap ke bawah ku lihat ubin lantainya bermotif seperti simbol
kepanduan internasional berwarna hijau cerah.
“Dimana aku ini?”, tanyaku dalam hati. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh
sapaan seseorang, “Je wordt wakker.
Goedemiddag meneer!”, kata orang itu, seorang laki-laki berperawakan ras
kaukasian atau yang biasa kita sebut “bule”. “Voel je je al gezond?”, sambungnya lagi. Aku semakin bingung dan
sedikit panik. “I’m…, I’m sorry sir, I…I
don’t understand your language”, balasku dengan terbata. “Ahh… speak English?, where do you come from
sir?”, balasnya. “Actually sir, I’am
from Indonesia”, balasku lagi. “Indo
what?, indo…nesia?, by the name of God, where is that country?, I never heard
any country in this world named Indonesia”, sahutnya.
Aku semakin bingung,
sedemikian tidak dikenalkah Indonesia olehnya. “I beg you pardon Sir, but I heard you just spoken in Indonesia”,
kataku. “me?, spoken Indonesia?, when?”,
tanyanya seperti kepada dirinya sendiri. Tampak olehku dia mengernyitkan
dahinya. “Ah... you must be just heard me
while I’m giving speech to the Regent, Demang and all Raden under my authority
here in Banten Kidul. Well, that’s was Melayu. Jadi kamu bicara Melayu?”, tanya
dia lagi kali ini mulai ada senyum di wajahnya dan wajahnya menjelaskan bahwa
dia merasa lega, yang mana sebenarnya aku pun merasa demikian.
“Siapa kamu punya nama?”, kembali dia
menginterogasiku. “Nama saya Permana tuan”,
jawabku sambil menyodorkan telapak tangan mengajaknya berjabat tangan. “Dekker, Eduard Douwes Dekker”, Jawabnya
lugas sambil balas menjabat tanganku. Mendengar nama itu aku jadi gemetar,
keringat dingin keluar dari pori-pori. “Permana
mengapa kamu kelihatan pucat seperti itu?, apakah kamu merasa tidak sehat?”,
tanyanya heran. Aku mengumpulkan segenap kesadaran, kekuatan, sebenarnya juga keberanianku. Aku pejamkan
mata dan menarik nafas dalam-dalam kemudian ku hembuskan perlahan.
“Aku pasti sedang bermimpi”, ku bicara
dalam hati. Sejurus kemudian aku tampar pipi sebelah kananku sendiri, “Plak!”, ternyata terasa perih juga. “Permana kenapa kamu pukul sendiri kamu punya
pipi?”, suara Douwes Dekker masih terdengar. Aku tidak mengerti apa yang
sedang terjadi kepada diriku.
“Dine!, Dine!,
breng me een glas water. Onze gast wordt wakker”, dia seperti memanggil
seseorang. Tidak lama seorang perempuan kaukasian masuk ke dalam kamar membawa
segelas air putih. “Hallo meneer, hoe
gaat het?”, sapanya kepadaku sambil menunjukan senyum ramah. “Hij spreekt geen Nederlands. Hij spreekt
melayu”, kata Douwes Dekker kepada perempuan itu. “Oh maaf, silahkan diminum airnya tuan”, kata perempuan itu
kepadaku. “Terimakasih Nyonya ….”, balasku.
“Everdine van Wijnbergen.
Saya istri dari Eduard”,
sahutnya. Tentu saja aku mengetahui nama itu sebagai istri dari Douwes Dekker
dari literasi sejarah tentang Max Havelaar yang aku baca. Rasa kebingunganku
semakin menjadi-jadi, semua ini sungguh tidak masuk akal, tapi aku berusaha
menyembunyikan kesan itu. “Nama saya Permana
nyonya”, balasku.
Kami bertiga kemudian berbincang-bincang kecil. Aku
bertanya bagaimana aku bisa berada disini, Douwes Dekker berkata bawahannya
menemukan aku tergeletak tidak sadarkan diri di tepi sungai dan membawa aku ke
kediamannya sekaligus kantor Assisten Residen Lebak ini.
“Baiklah Permana, silahkan kamu lanjutkan istirahat. Saya masih ada
pekerjaan yang harus diselesaikan. Mari Dine kita biarkan tamu kita
beristirahat”, kata Douwes Dekker sebelum menutup pintu kamar.
Aku pergi
menuju jendela kamar untuk melihat suasana diluar. Tampak olehku beberapa orang
berpakaian seperti zaman kerajaan mengenakan beskap khas sunda berwarna hitam
dan beberapa orang kaukasian juga mengenakan pakaian resmi berbahan seperti
beludru berwarna biru tua dengan bordiran berwarna keemasan.
Dari kamar
bangunan tempatku beristirahat dengan bangunan yang nampaknya seperti kantor
tidaklah berjauhan, hanya berseberangan dibatasi taman bunga yang terlihat terawat
dengan apik. Ada tiang bendera di tengah-tengahnya, tampak oleh kedua mataku bendera
Merah Putih Biru berkibar.
*******
Dentang jam Junghans terdengar bunyinya 7 kali,
tadi sore Douwes Dekker berkata bahwa pukul 7 petang waktunya makan malam
keluarga. Dia mengingatkan aku agar makan bersama keluarganya di meja makan di
ruang tengah. Malam hari di tempat itu sumber penerangannya dari lampu minyak,
tidak ada lampu bohlam, tidak ada listrik rupanya.
Aku berjalan menuju ruang
makan. “Selamat malam Permana”, sapa
Dine menyambutku. Douwes Dekker sudah duduk di bangku utama meja makan yang
posisinya di tengah. “Silahkan duduk Permana”,
Douwes mempersilahkan aku. Setelah Douwes memimpin doa secara Nasrani sebelum bersantap kami pun menikmati hidangan.
Makan malam selesai namun aku dan Douwes Dekker
belum beranjak dari meja makan. “Tuan
Douwes Dekker saya terlupa menanyakan ini tadi siang, kita ini sedang berada
dimana?, dan tahun berapakah ini?”, dua pertanyaan sekaligus aku utarakan.
Douwes Dekker menjelaskan bahwa sekarang sedang berada di Rangkas Betung, ibu
kota dari Banten Kidul dan sekarang tahun 1856.
Mendengar penjelasannya aku
jadi termangu. “Ini sungguh tidak masuk
akal”, kataku dalam hati. Kemudian dia bercerita tentang tanah kelahirannya
di Nederland, kesannya saat pertama kali menginjakkan kaki ke negri kolonial East Indies ini. Dia berkata bahwa dia merasa bersimpati kepada kaum pribumi
rakyat jelata yang menurutnya orang-orang yang ramah, bersahaja, jujur dan juga
pekerja keras.
Saat dia bertanya kepadaku tentang asal-usulku aku jelaskan saja
bahwa aku adalah kaum pribumi dari masa depan. “Negri ini akan merdeka tuan, negaranya kelak bernama Indonesia yang
terdiri dari Sabang di ujung utara Sumatera sampai Merauke, atau New Holland di
tanah Papua Barat. Penduduknya terdiri dari beragam suku bangsa
dan agama, namun kami berikrar tetap satu sebagai bangsa”.
Aku jelaskan juga
bahwa tanah Lebak tempat dia sekarang bertugas adalah tanah yang subur dan
kaya, di bagian selatan terdapat hamparan pantai yang indah. Strata
kemasyarakatan di tanah Banten memiliki 3 pilar utama yaitu Umara atau
pemerintah, Ulama dan Jawara. Lebak juga memiliki keunikan yang khas yakni
terdapat sekelompok masyarakat adat yang tetap mempertahankan budaya leluhur
dengan hidup memisahkan diri dengan peradaban dunia luar bernama Suku Baduy.
Letak tempat tinggal Suku Baduy tidak seberapa jauh lagi dari Rangkasbitung, ke
arah Kanekes.
Aku uraikan semua yang aku tahu tentang Lebak dan sejarah
Indonesia, tampak Douwes Dekker menyimak dengan seksama dan antusias meski
tidak dipungkiri juga terlihat raut kebingungan seolah tidak percaya dengan
penjelasanku khususnya soal masa depan.
“Tuan
Douwes Dekker ke tanah Lebak ini sebagai Asisten Residen, hendaknya tuan dapat
melindungi hak-hak dasar rakyat jelata di Lebak ini”, tandasku. “Tentu saja Permana, saat pelantikan jabatan
saya sudah bersumpah atas nama Tuhan bahwa saya akan melindungi rakyat dari
penindasan, eksploitasi dan pemerasan”, jabarnya.
Aku menyambung
perkataanku kepadanya, “Maukah tuan
berjanji kepada saya?, Tuan harus menulis segala pengalaman tuan selama
bertugas sebagai Asisten Residen di Lebak ini”, pintaku kepadanya. “Tentu Permana, saya memang selalu menulis
dan terbiasa membuat catatan-catatan terkait dengan tugas-tugas saya. Tapi
mengapa kamu seperti menekankan perihal Lebak ini?, apakah memang Lebak sedemikian
istimewa?, dan apakah tulisan saya tentang Lebak akan dibaca banyak orang?”,
tanyanya kepadaku seperti keheranan.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk kecil,
bahasa tubuh yang memintanya agar mempercayaiku. Aku tidak dapat membeberkan
soal novel Max Havelaar dan nasibnya di masa depan, seperti ada pagar moralitas
yang tidak ingin aku lompati dengan menceritakan nasib orang di masa depan seolah
mendahului takdir Tuhan.
Tidak terasa waktu telah menunjukan pukul 1
dini hari, Douwes Dekker pamit tidur. Sebelum menuju tempat peraduannya dia
memberiku 3 lembar kertas kosong dan pena beserta botol tintanya seraya meminta
agar aku menulis semua hal yang menjadi topik diskusi dengannya supaya dia
dapat mempelajarinya lebih lanjut soal-soal Lebak ini. Aku menyanggupinya.
“Sampai besok Permana. Selamat malam, selamat
beristirahat”, katanya kepadaku. “Sama-sama
tuan Douwes Dekker. Selamat malam”, balasku. Aku pun beranjak menuju kamar
istirahat tamu di bagian depan rumah ini. Di luar hening sekali, tidak ada
suara mesin kendaraan yang melintas, hanya terdengar suara serangga dan burung
malam. Rasa kantukku sudah tidak tertahankan, sejadinya aku melemparkan tubuhku
ke kasur dipan. Terlelap.
*******
“Ayah…ayah..bangun
yah!, bangun ayah!”, aku mendengar suara istri dan kedua anakku
ditelingaku. Perlahan kubuka kelopak mataku. “Kenapa sekarang aku berada di kamar kediaman mertuaku di Panjaungan”,
batinku mengenali kamar ini. Begitu aku membuka lebar kedua belah mataku, semua
yang berada di kamar itu mengucap syukur.
Seseorang dengan kalung
stetoskop menghampiriku dan berkata, “Bapak
pingsan selama 3 jam, kepala bagian belakang bapak terantuk batu di dalam goa, tapi
syukurlah tidak ada tanda-tanda gegar otak”, rupanya dia dokter yang
memberiku pertolongan pertama. Aku meraba kepala bagian belakangku, ada perban.
“Ayah sih nekat masuk ke dalam goa cuma
pake senter hp”, protes anakku yang sulung. Aku hanya bisa tersenyum tanpa
bicara. Aku tidak akan menceritakan apa yang aku alami kepadanya atau kepada
siapapun juga.
Saat semua orang sudah keluar kamar hanya tinggal aku sendirian,
aku termenung mengingat apa yang telah ku alami, kemudian meraba kantung
kemejaku. Tanganku menyentuh sesuatu benda panjang sekitar 15 sentimeter.
Ternyata itu pena tinta yang diberikan Eduard Douwes Dekker kepadaku sebelum
pamit tidur.