Kamis, 05 November 2020

BOIKOT PERANCIS


Paska peristiwa dihantamnya menara kembar World Trade Center oleh pesawat yang dibajak pada peristiwa yang dikenal dengan sebutan 911 (11 September 2001), Amerika langsung mendeklarasikan “Perang kepada teroris” (War on Terror/WoT). Sebutan lainnya adalah Global War on Terrorism dan juga U.S War on Terror. Amerika menuduh bahwa dalang utama dibalik serangan 911 adalah kelompok Islam Radikal atau Islam Fundamentalis.
Tindakan konkrit Amerika atas WoT adalah apalagi kalau bukan kampanye militer. Amerika kemudian menggalang para koalisinya untuk menyerang negara-negara yang dituduh penyokong Islam radikal. Namun diluar dugaan, Perancis yang memiliki ikatan sejarah kuat dengan Amerika menolak bergabung dalam koalisi militer kampanye WoT. Dasar pertimbangan Perancis memandang tuduhan Amerika untuk menyerang negara sasaran kampanye militer itu (Afganistan dan Irak) adalah lemah. Hal lain yang menjadi kekhawatiran Perancis adalah bahwa paska 911 di sebagian besar dunia belahan barat muncul terminologi ISLAMOPHOBIA.
Perancis adalah negara Eropa yang warga negaranya multi-kultur dan multi-agama. Semboyan Perancis Liberte-Egalite-Fraternite yang artinya Kebebasan-Kesetaraan-Persaudaraan dipegang betul sebagai prinsip bernegara mereka.
Di sisi lain Perancis memafhumi bahwa sejarah negara mereka tidak bisa dilepaskan dari sumbangsih para imigran-imigran yang tidak sedikit berasal dari negara Islam seperti Maroko, Tunisia dan Aljazair. Saat Perang Dunia I kemudian Perang Dunia II, terdapat kompi tentara multiras Perancis yang disebut Legiunaire. Pasukan Legiunaire banyak berasal dari negara yang saya sebut sebelumnya, yang tentunya beragama Islam. Tentunya mereka mempersembahkan darah dan nyawa mereka untuk kejayaan Perancis. Untuk alasan itulah Perancis menolak bergabung bersama kampanye militer Amerika dalam WoT.
Sikap Perancis tersebut membuat Amerika berang. Amerika menganggap Perancis tidak tahu berterimakasih atas jasa mereka pada saat Perang Dunia II, yang kala itu pasukan Amerika membebaskan Perancis dari cengkraman Nazi Jerman pimpinan Adolf Hitler. Padahal sebenarnya jauh kebelakang saat Amerika masih dijajah Inggris, dan belum berbentuk negara Amerika, justru terlebih dahulu Perancislah yang membantu perjuangan perang kemerdekaan Amerika melawan Inggris.

Atas prakarsa politisi dari Partai Republik (partai ini berhaluan konservatif dan sayap kanan) menyerukan pemboikotan produk-produk “berbau” Perancis. Sebagian masyarakat Amerika yang percaya bahwa mereka sedang berperang melawan Islam Radikal menyambut seruan politisi Partai Republik tersebut. Sampai-sampai French Fries (kentang goreng) yang merupakan sajian menu pendamping utama restoran-restoran cepat saji di Amerika merubah penamaannya menjadi “Freedom Fries” atau “American Fries”. Mereka menganggap “French” identik dengan Perancis. Padahal aslinya kentang goreng atau French Fries berasal dari Belgia.

-Sekian dulu- catatan : Momen tulisan, pas rame2nya boikot produk Perancis gegara statemen Presiden Macron

Rabu, 20 November 2019

Komitmen Konservasi Hutan Pemerintahan Jokowi

Kakek Suhendri (foto by hipwee.com) 
Pada saat pohon terakhir telah tumbang dan sungai terakhir telah diracuni, dan ikan terakhir telah ditangkap, barulah kita akan menyadari bahwa uang tak bisa dimakan
Quote diatas diambil dari buku “The Geography of Bliss: One Grump's Search for the Happiest Places in the World” yang ditulis oleh Eric Weiner. Dia seorang penulis sekaligus traveler. Buku itu sendiri berkisah tentang perjalanan Eric Weiner dalam usaha menemukan kebahagiaan dalam hidup.
Saat menginjakkan kaki di negara Bhutan, pada suatu desa di pinggir hutan ia mendapati tulisan pada papan yang dipancangkan di atas tanah oleh masyarakat desa tersebut. Betapa masyarakat desa tersebut telah memaknai kebahagiaan juga kearifan hidup
***
Hutan, apabila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia maka kita akan mendapati definisi : 1. Tanah luas yang ditumbuhi pohon-pohon (biasanya tidak dipelihara orang). 2. Tumbuhan yang tumbuh di tanah yang luas (biasanya di wilayah pegunungan).
Sedangkan apabila kita mencoba mendifinisikan hutan secara bebas berdasarkan pemahaman umum yang mungkin telah dipelajari pada kurikulum sekolah akan kita dapati : sebidang luas tanah yang ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan dan habitat hewan yang membentuk suatu ekosistem yang saling tergantung membentuk rantai kehidupan.
Penelitian ilmiah juga telah membuktikan bahwa pohon-pohon menyerap karbondioksida dan mengeluarkan oksigen, zat utama penopang kehidupan di bumi. Itu artinya hutan merupakan paru-paru dunia. Belum lagi fungsi hutan sebagai penyerap air, hutan dapat mencegah banjir dan longsor.
Hutan di Indonesia menduduki urutan ketiga terluas di dunia, mencakup hutan tropis, yang terluas terdapat di Kalimantan dan Papua. Keberadaan hutan saat ini kian terancam, penyebabnya adalah penebangan liar (illegal logging) dan konversi hutan atau alih fungsi hutan menjadi lahan komoditas baik perkebunan maupun pertambangan.
Pohon Jati, Meranti, Merbau dan Trembesi adalah contoh pohon yang kayunya bernilai ekonomis tinggi dan menjadi komoditas ekspor. Kemudian pembukaan lahan hutan karena pada lahan tersebut ditemukan komoditas tambang seperti batubara, emas, atau bebatuan mineral lainnya, itu juga akan mengorbankan hutan untuk keperluan yang dianggap lebih bernilai ekonomis.
Namun perambahan hutan yang bersifat masif adalah pada sektor perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit. Perambahan lahan hutan untuk dikonversi menjadi lahan sawit sudah dimulai sejak era kolonial dan puncaknya adalah era pemerintahan Orde Baru.
Menggeliatnya industri minyak sawit bermula sejak akhir dekade 1960-an. Perkebunan sawit yang dimiliki negara (PT Perkebunan Nusantara) mulai bertumbuh pada tahun 1970-an. Sedangkan perkebunan petani kecil mengalami perkembangan setelah 1979, yaitu berkat dukungan dana dari Bank Dunia. (“Industri Kelapa Sawit dan Perjalanan Politik Komoditas di Indonesia”. Mongabay.co.id, 18 April 2016).
Pada awal pemerintahan Orde Baru luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia 119.660 hektar, yang terdiri atas 79.209 hektar dikuasai Pemerintah dan 40.451 hektar oleh perusahaan swasta. Tahun 1979 rakyat mulai terlibat dalam kepemilikan lahan perkebunan dengan luas 3.125 hektar, sementara kebun Pemerintah 176.408 hektar dan kebun milik swasta 81.405 hektar. Pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sampai dengan tahun 1980 luas lahan kelapa sawit mencapai 294.560 hektar dengan produksi Crude Palm Oil sebesar 721.172 ton. (“Ekspansi dan Kontradiksi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia”. Balairungpress.com, 2 April 2018).
Paska Orde Baru, berdasarkan studi yang dilakukan oleh WRI (World Resources Institute, 2014) Indonesia telah kehilangan lebih dari 6 juta hektar hutan pada periode 2000-2012 yang sebagian besar diperuntukkan untuk konversi perkebunan sawit. Pada tahun 2014, berdasarkan status pengusahaannya, produksi minyak sawit dari perkebunan swasta sebanyak 16,50 juta ton minyak sawit (56,25%), perkebunan rakyat 10,68 juta ton (36,41 %), dan perkebunan besar negara 2,16 juta ton (7,34 %). (“Industri Kelapa Sawit dan Perjalanan Politik Komoditas di Indonesia”. Mongabay.co.id, 18 April 2016).

Komitmen Kementrian Kehutanan dan Lingkungan Hidup era Presiden Jokowi
Saat terpilih menjadi presiden di periode pertama, Jokowi berjanjian mengurangi angka pembukaan lahan hutan (deforestasi), terlebih untuk keperluan perkebunan kelapa sawit. Namun demikian kenyataannya untuk benar-benar memberhentikan (moratorium) penebangan hutan tidak dapat diwujudkan. Kelapa sawit tetap menjadi komoditas yang menggiurkan dalam rangka menggenjot devisa negara.
Pada awal tahun 2019 Uni Eropa memutuskan menolak biodiesel sawit asal Indonesia. Alasannya adalah negara-negara Eropa hendak mengurangi emisi karbon, karena ternyata emisi karbon yang dikeluarkannya tiga kali lebih besar dari energi fosil. Artinya biodiesel sawit dinilai berdampak negatif bagi ketahanan iklim global.
Alasan Uni Eropa lainnya adalah permasalahan sosial yang timbul dari aktivitas perekonomian bidang perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Uni Eropa menyoroti permasalahan upah buruh sawit yang rendah, pekerja anak pada perkebunan sawit, sengketa lahan dengan masyarakat adat sekitar perkebunan sampai kasus korupsi (juga kolusi) seputar industri sawit. Tentu saja yang juga tidak dapat diabaikan adalah perkebunan kelapa sawit dipandang penyebab utama deforestasi.
Tulisan ini tidak membahas lebih jauh pemboikotan Uni Eropa berkaitan dengan isu “Perang Dagang” yang belakangan ini sedang berlangsung secara global. Namun jika boleh sedikit diulas, atas boikot tersebut pemerintahan Jokowi melalui Menko Luhut Binsar Panjaitan (periode pertama pemerintahan Jokowi) meresponnya dengan mengancam balasan memboikot produk dari Uni eropa.
Kemudian Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution (juga periode pertama pemerintahan Jokowi) merespon dengan keinginannya membatalkan keputusan Uni Eropa tersebut yang menurutnya bentuk diskriminasi minyak kelapa sawit dengan minyak lainnya. Masih menurut Darmin, keinginan tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa saat ini minyak kelapa sawit merupakan komoditas nomor satu Indonesia.
Tahun 2018, minyak mentah kelapa sawit (Crude Palm Oil) memberi kontribusi ekspor senilai $17,89 miliar atau sekitar Rp 252 triliun (data Setkab.go.id). Hal ini menandakan bahwa komoditas sawit dan juga perkebunannya tidak akan dikurangi apalagi dihentikan sebagai komoditas utama negri ini. Kekhawatirannya kemudian adalah peralihan fungsi hutan/konversi hutan masih akan berlangsung.
Pada periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi, kembali ia menunjuk Siti Nurbaya Bakar sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Saat dipanggil ke istana sebelum dilantik kembali menjadi menteri, dia memaparkan hasil pertemuannya dengan Presiden kepada awak media. 
Presiden Jokowi mengingatkan kepada para menteri yang hadir agar mempermudah proses perizinan agar para investor berbondong-bondong menanamkan investasinya.  Investasi yang berkaitan dengan ekspor, berkaitan dengan barang-barang substitusi impor, tutup mata, berikan izin secepat-cepatnya. Catatan Presiden itu juga ditujukan kepada Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (makassar.tribunnews.com, 22 Oktober 2019).  

Kesadaran Konservasi Kakek Suhendri       
Namun diantara berita yang mengkhawatirkan atas keberlangsungan masa depan kelestarian hutan Indonesia, ada juga kabar baik dari Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Seorang kakek bernama Suhendri mempertahankan hutan miliknya seluas 1,5 hektar. Ia merintis sendiri kepemilikan hutannya sejak tahun 1986.
Ketika ditanya apa alasannya mempertahankan hutannya itu, dia menjawabnya agar dapat terus menyediakan oksigen dan memberi udara segar bagi masyarakat kota Tenggarong, kota dekat hutannya tersebut. (Kompas.com, 4 November 2019).
Kearifan pemikiran akan perlu menjaga kelestarian hutan juga dapat ditemukan pada masyarakat adat. Suku Baduy di Kabupaten Lebak, Banten misalnya. Pada komunitas mereka ada hukum adat yang berlaku sejak dari zaman “karuhun” (sebutan nenek moyang bagi mereka) agar tidak menebang pohon di hutan secara sembarangan.
Ada larangan yang berbunyi : “Panjang jangan dipotong, pendek jangan disambung”. Makna dari larangan itu sebenarnya agar pepohonan dan hutan secara keseluruhan tetap terjaga keasliannya sehingga lestari. Karena mereka sadar, tanpa hutan mereka tidak akan bisa hidup. Hutan menyediakan segala kebutuhan bagi mereka, dari mulai pangan, papan, hingga sandang.
Keberadaan masyarakat adat juga sebenarnya dapat menjadi semacam parameter, apakah pemanfaatan dari hutan sebagai kekayaan bangsa benar-benar digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran hidup seluruh rakyat Indonesia. 
Karena bagaimana akan mensejahterakan dan memakmurkan seluruh rakyat Indonesia jika masyarakat adat yang tinggal dekat dengan hutan saja menjadi sengsara apabila hutan habis berganti dengan perkebunan yang entah milik siapa.

Selasa, 12 November 2019

Joker Versus Masyarakat yang Sakit

credit pict from comicbook.com
Beberapa waktu lalu masyarakat dihebohkan oleh penayangan film “Joker” di bioskop yang premiernya 2 Oktober 2019. Film tersebut disutradarai Todd Phillips dan merupakan franchise dari komik DC. Sebelum film Joker terbaru ini, pada film The Dark Knight yang disutradarai Christopher Nolan rilisan 2008 lalu Joker juga hadir. Namun Joker pada kedua film tersebut bukanlah narasi pertempuran “jagoan versus penjahat” sebagaimana pemahaman anak-anak. Kehadiran Joker pada dua film itu menawarkan konsep kritik atas tatanan masyarakat yang sedang sakit (sick society).  

Joker versi Chritopher Nolan tahun 2008 berjudul film “The Dark Night”. Tokoh sentral utamanya adalah Batman, sedangkan Joker (diperankan dengan ciamik oleh Heath Ledger) menjadi “tokoh utama” lain, tepatnya pihak yang berseberangan dengan Batman, menjadi rival tangguhnya.

Film The Dark Night berseting pada sebuah kota besar fiksi di Amerika bernama Gotham. Gotham digambarkan sebagai kota yang nampak modern pada permukaannya, namun yang tidak nampak secara kasat mata adalah kota ini sebenarnya menjadi habitat yang nyaman untuk organisasi-organisasi kejahatan besar (mafia) dalam menjalankan aktivitas bisnis illegal mereka karena dekat dengan para pejabatnya juga dengan oknum aparat penegak hukumnya. Bahkan di kota Gotham ada bank tempat para mafia menyimpan pundi-pundi uang keuntungan mereka. Kegiatan para mafia ini selalu lolos dari jeratan hukum karena para mafia menyuap pejabat dan para oknum aparat penegak hukum.

Pejabat yang korup serta munafik kemudian instrumen dan aparat hukum yang tidak dapat dipercaya membuat angka kriminalitas sangat tinggi di kota Gotham. Atas kondisi tersebut hadirlah Batman yang kemunculannya selalu pada malam hari. Batman bermaksud melindungi masyarakat Gotham dari tindak kejahatan yang diperbuat oleh para mafia dan begundalnya, maupun kriminalitas lain akibat tidak langsung dari kondisi kota Gotham yang tatanan sosialnya hancur tersebut.

Dalam menjalankan aksi heroiknya tersebut Batman tidak serta-merta berbuat sekehendaknya, dia masih berkordinasi dengan kepolisian kota Gotham. Batman hanya menangkapi para mafia dan pelaku kriminal yang sulit ditundukan polisi, proses hukum selanjutnya dia tetap menyerahkan kepada polisi dan sistem hukum formal kota Gotham.

Berbeda dengan Batman diatas, munculah satu karakter yang memproklamirkan dirinya bernama Joker. Digambarkan pada film The Dark Night, di awal film itu langsung diceritakan dia merampok bank dan menguras habis simpanan uang pada bank tersebut. Ternyata bank yang dirampok oleh Joker tersebut adalah bank tempat para mafia menyimpan uang-uangnya. Kemudian uang yang dirampoknya itu alih-alih digunakan untuk dinikmati ia malah membakarnya. Aksi Joker selanjutnya adalah membunuh Gubernur kota Gotham dan Hakim Pengadilan kota Gotham, kemudian berlanjut meledakkan rumah sakit umum kota Gotham.

Joker melakukan itu semua dengan maksud hendak menciptakan kondisi anarki,  dia ingin menghancurkan tatanan sosial yang dianggapnya sudah rusak, dia bermaksud hendak me-reset semua dari awal dengan menghancurkan semua tatanan lama. Dia tidak percaya hukum kota Gotham dapat merekaya sosial dikarenakan sistemnya sudah rusak dan aparaturnya manipulatif, munafik dan korup.    
   
*****

Film Joker besutan Todd Phillps tahun 2019 menceritakan seorang bernama Arthur Fleck (sukses diperankan oleh Jaquin Phoenix), seorang warga kelas bawah, yang untuk bertahan hidup bekerja sebagai badut pada sebuah agensi. Ia bertempat tinggal di apartemen kumuh dengan ibunya yang sakit. Sebagaimana film The Dark Knight, film Joker berseting di kota Gotham. Kota Gotham pada film Joker merupakan penggambaran mikro dari Gotham yang digambarkan film The Dark Knight. Gotham pada film Joker mendeskripsikan kehidupan dan interaksi antar warga kotanya.

Gotham pada film Joker digambarkan sebagai kota yang kumuh, mulai masalah sampah yang tak tertangani dengan baik, lapangan kerja yang sedikit, jurang antara si kaya dengan si miskin yang menganga, rasa empati dan tenggang rasa masyarakatnya pun demikian buruk, solidaritas masyarakat semakin pudar sedangkan individualistis dan apatisme semakin menguat. Kota tak ubahnya seperti rimba, mereka yang kuat yang bertahan dan menindas yang lemah. Kelompok yang kerap menjadi sasaran penindasan digambarkan adalah mereka yang bekerja sebagai badut.  
    
Arthur Fleck adalah salah satu warga kota Gotham dari golongan kelas bawah yang bekerja sebagai badut. Kesehariannya, dia tak jarang mendapatkan perlakuan buruk dari orang-orang di sekitarnya. Hidup Arthur yang sudah berat, bertambah berat ketika dia dipecat dari pekerjaannya.

Kemudian secara tak sengaja dia menemukan surat ibunya untuk Thomas Wayne, konglomerat kota Gotham. Isi surat itu membuatnya marah dan terkejut, dia menemukan fakta bahwa ibunya saat muda pernah terlibat skandal dengan Thomas Wayne, dan seorang mantan pasien rumah sakit jiwa karena depresi parah yang dideritanya. Dia samar-samar mulai mengingat masa kecilnya yang sering disiksa secara fisik oleh ibu dan ayah tirinya.

Sebagai warga biasa ia juga memiliki mimpi kesuksesan hidup. Dia bermimpi menjadi komedian sukses dan kemudian diundang pada sebuah acara talk show di televisi yang menjadi tontonan favoritnya. Namun, lagi-lagi, hanya kekecewaanlah yang dia terima. Dia gagal sebagai komedian dan orang-orang seperti dirinya ternyata hanya menjadi bahan lelucon acara talk show favoritnya tersebut.

Pada klimaksnya Arthur menjadi orang yang mati rasa, kenyataan hidup yang kelam menjadi semacam shock therapy, dia kemudian menganggap bahwa hidupnya bukanlah tragedi melainkan komedi. Lalu ia membunuh teman kerjanya, ibunya, kemudian pembawa acara talk show favoritnya.

Film Joker tahun 2019 seolah menjadi penjelasan latar belakang kebrutalan seorang Joker pada karakter Joker di film The Dark Knight. Joker seperti sedang menghukum orang-orang yang menindasnya, yang melecehkan dan meremehkannyannya, bahkan “menghukum” ibunya sendiri yang dianggapnya biang keladi yang mula-mula membuat jiwanya terluka dan hidupnya susah. Pada tahap lebih lanjut dia menghukum pejabat dan oknum aparat hukum yang munafik, manipulatif dan korup. Pada intinya, dia sedang menghukum masyarakat yang sakit dengan cara menghancurkan tatanan sosial, dengan cara Anarkisme.

*****

Pada film The Dark Knight, Joker mengadakan yang ia sebut “eksperimen sosial”. Ia memasang bom pada dua kapal feri. Kapal feri yang satu berisi orang-orang yang dikategorikan “orang baik” yakni warga kota biasa yang tidak memiliki catatan kriminal di kota Gotham, sedangkan kapal feri satunya lagi berisikan para narapidana kota Gotham.

Joker mengumumkan, bahwa tepat pukul 12.00 tengah malam mereka yang di dalam kapal feri harus menekan tombol pemicu bom yang terpasang pada kapal feri lainnya. Bom pada kapal feri berisikan narapidana, tombol pemicunya di kapal feri berisikan “orang baik”, dan sebaliknya. Eksperimen sosial ini Joker ingin melihat siapakah yang lebih layak dimusnahkan oleh dua kubu yang berlainan golongan itu. Apakah para “orang baik” akan memutuskan menekan tombol bom yang meledakkan kapal feri berisikan para narapidana, atau sebaliknya, atau malah kedua kapal feri itu meledak karena mereka saling menekan tombol pemicu bom.

Tepat jam 12 tengah malam ternyata tidak satupun kapal feri itu meledak, rupanya orang-orang di kedua kapal itu memutuskan tidak akan “menghakimi” orang yang lain dengan meledakkannya. Mereka masih berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan. Jika coba memahami, hal itu merupakan sebuah penggambaran, bahwa obat dari kondisi masyarakat yang sakit tidak lain adalah masyarakat itu sendiri.
  
#Sekian

Selasa, 15 Oktober 2019

Aktivis Mahasiswa

Gerakan mahasiswa angkatan '98 menduduki gedung MPR

Saat gerakan mahasiswa tahun '98 dengan tuntutan "Reformasi Total" berlangsung aku sedang duduk di semester 3 bangku perkuliahan. Dahulu aku anak muda yang lugu yang didadanya dipenuhi nilai-nilai idealis. Aku menilai segala sesuatu hanya "hitam-putih", tidak ada "abu-abu". Dahulu itu aku memandang rezim pak Harto berkuasa terlalu lama di Indonesia sehingga menjadi demikian absolut dan cenderung menyimpang, titik!. 

Demokrasi dibunuh, kekayaan negara dikuasai kelompok oligarki "Cendana", penegakan keamanan menggunakan pendekatan militeristik nan represif, stabilitas demikian terjaga bukan karena kesadaran warga negaranya namun karena ketakutan. Klimaksnya tahun 1997 krisis moneter menerpa Indonesia, rupiah langsung kolaps terhadap dolar Amerika yang mengakibatkan harga sembako dan bbm jenis premium membumbung tinggi karena negara tidak mampu memsubsidi.

Aslinya, aku ini mahasiswa yang apolitis. Duniaku hanya kampus kemudian pulang ke rumah, ditambah kegiatan yang bersifat hobi dan senang-senang layaknya anak muda yakni ngeband, naik gunung, nongkrong bareng teman-teman kompleks, dan pacaran. 

Di kampus ada beberapa teman yang kerap berdiskusi seputar politik nasional dan ideologi-ideologi. Aku hanya sekedar bersapa saja dengan mereka-mereka ini tidak mengakrabkan diri, toh aku pikir "lain dunia". Setiap hadir di kampus mereka sering terlihat kumal, karena jarang pulang ke rumah katanya, lebih sering di Basecamp (baca "beskem"). 

Barulah kemudian aku tahu bahwa yang disebut beskem adalah organisasi diluar lingkungan kampus. Sedangkan di kampus sendiri sebenarnya ada organisasi formal internal kampus, seperti yang aku tahu ada Senat Mahasiswa (sekarang disebut Badan Eksekutif Mahasiswa), adapula organisasi internal kampus yang bersifat unit kegiatan mahasiswa seperti Resimen Mahasiswa, Pencinta Alam, kesenian, kerohanian dan ilmu beladiri.

Dikarenakan satu angkatan dan satu kelas aku sesekali mendengar juga topik pembicaraan mereka, dan karena rasa ingin tahu sesekali pula aku nimbrung obrolan mereka. Tapi aku tidak berkomentar apa-apa, karena tidak terlalu paham, apalagi jika membahas seputar ideologi-ideologi seperti : fasisme, komunisme, kapitalisme, liberalisme, perbedaan antara Islam politik dengan politik Islam, militerisme, sayap kanan, sayap kiri, konservatisme, proletar dan lain sebagainya, bisa pusing aku dibuatnya. 

Sekali waktu mereka berdiskusi tentang Soe Hok Gie, gerakan mahasiswa angkatan '66, lalu beranjak ke topik ketidakadilan sosial, kesewenang-wenangan aparat, penyerobotan lahan petani, jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat kecil yang tidak kunjung terwujud. Semua itu terjadi di Republik Indonesia yang sudah merdeka puluhan tahun ini. Pendeknya, kata mereka; "Indonesia tidak sedang baik-baik saja".

Namun demikian berteman dengan mereka-mereka ini bagiku ada juga manfaatnya. Paling tidak semua topik-topik diskusi menambah pengetahuanku, dan tentunya rasa ingin tahu. Aku jadi mulai membaca buku-buku dan koran, tontonan televisiku jadi bertambah tidak hanya menyaksikan tayangan video klip musik dan film lepas tapi juga menyaksikan berita nasional dan acara dialog. Perlahan aku mulai berpikir dan merasa bahwasanya benar ada yang tidak beres dengan negeri ini. Ya!, kita tidak sedang baik-baik saja!. 

Padahal sebelum berteman dengan mereka-mereka itu aku merasa baik-baik saja, ceria-ceria saja. Karena aku hobi musik maka aku hanya peduli dengan debut terbaru band favoritku dari Amerika atau Inggris yang biasanya dibarengi kemunculan video klipnya di televisi, tentunya tidak lupa juga band lokal favorit. Juga yang terpikir olehku adalah malam minggu ini nongkrong dimana dengan teman-teman atau rencana kencan dengan gebetan.  

**********

21 Mei 1998, adalah hari yang tidak akan terlupa bagiku. Ia tercatat dengan tinta emas dalam lembar catatan perjalanan hidupku. Itu adalah hari yang membahagiakan. Adalah hari ketika akhirnya pak Harto menyatakan "lengser keprabon" alias mundur. Aku merasa menjadi bagian dari sejarah gerakan perubahan di Indonesia, yang memang jika ditilik dari sejarah kontemporer Indonesia pergerakan nasional Indonesia kerap dipelopori oleh kaum pemuda. Sebut saja salah satunya adalah dimulai dari momen Sumpah Pemuda 1928.

Hari itu adalah hari yang mengharu-biru. Aku bersama barisan demonstran mahasiswa sudah berada di depan gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, sejak siang hari di tanggal 20 Mei 1998 hingga akhirnya merobohkan gerbang gedung parlemen itu sore harinya, kemudian malamnya bermalam di sana pula. Teringat masa-masa sebelumnya bersama teman-teman, kami menantang aparat baik Polisi maupun ABRI meskipun ada gentar toh kami hadapi juga, karena yakin apa yang sedang kami lakukan adalah membela kebenaran, untuk rakyat dan masa depan bangsa yang lebih baik. 

Panas terik matahari yang memantul di aspal jalanan tidak menyurutkan semangat perjuangan kami. Tembakan gas air mata dan peluru karet, dan bahkan ancaman peluru tajam sekalipun tidak menghentikan langkah kami. Betapa semangatnya aku dan teman-teman menjalani hari-hari aksi demontrasi mahasiswa meski pakaian dan rupa kami lusuh juga kusam bagaikan gembel. Meski sekedar duduk hanya beralas seadanya atau menggunakan jaket almamater di aspal atau trotoar sambil mendengarkan orasi, meskipun makan hanya nasi bungkus dengan menu alakadarnya, atau makan hanya ala warung tegal, toh semua kesusahan terbayar dengan jatuhnya rezim Orde Baru.                   

Paska 21 Mei 1998, aku merasa tanggungjawabku sebagai pemuda harapan bangsa sudah selesai. Bagiku itu berarti aku kembali ke bangku perkuliahan, kembali menjadi anak band, kembali mendaki gunung, kembali nongkrong seru bareng teman-teman komplek dan kembali kencan dengan pacar. Namun tidak dengan teman-teman kampusku yang aku ceritakan di awal. Mereka tetap melanjutkan aksi demonstrasi, mereka tetap terus menggalang massa mahasiswa untuk turun ke jalan. Setelah bergaul dengan mereka kemudian bersama bergabung dalam barisan demonstran gerakan mahasiswa '98 barulah aku mengenal istilah dan "dunia" mereka; Aktivis Mahasiswa. 

Adalah satu peristiwa yang dinamakan Tragedi Semanggi 1, yang terjadi pada 11 hingga 13 November 1998. Bentrokan terjadi antara aparat keamanan yang terdiri dari Polisi dan ABRI dibantu ormas yang dinamakan Pam-swakarsa melawan massa demonstran mahasiswa. Pada peristiwa itu tidak sedikit korban yang tewas baik dari pihak mahasiswa, pelajar, masyarakat sipil bahkan aparat.

Aku tidak turut serta pada aksi mahasiswa saat peristiwa Semanggi 1 pecah. Aku sedang naik gunung bareng teman tongkrongan dan gebetan. Karena aku pikir perjuangan "Reformasi Total" sudah selesai, ternyata tidak. Indonesia belum baik-baik saja rupanya. 

********

Waktupun terus bergulir, akhirnya aku meninggalkan bangku kuliah. Aku meraih gelar sarjana strata 1. Kemudian aku bekerja di sebuah perusahaan swasta. Fase baru dalam hidupku, menjadi karyawan kantoran. Aku dan teman-teman kampusku pisah jalan, menapaki kehidupan masing-masing. Demikian juga dengan teman-teman aktivisku, entah kemana dan menjadi apa mereka. Kami kehilangan kontak. 

Aku menjalani kehidupan "normal", fasenya klise; lulus kuliah, jadi karyawan, menikah, punya anak, akhir pekan menghabiskan waktu bareng keluarga ke mall atau ke tempat wisata, setahun sekali ikut family gathering yang digelar kantor, seperti itulah.   

Bertahun-tahun kemudian, sekitar tahun 2017 semesta mempertemukan aku dengan teman-teman saat gerakan mahasiswa '98 dulu. Tak dinyana, teman-teman aktivis yang dahulu berpenampilan kumal sekarang ada yang menjadi komisaris BUMN, kepala daerah, anggota parlemen atau fungsionaris partai politik besar. Penampilan mereka berubah total menjadi necis.

"Ketidakadilan sosial, kesewenang-wenangan aparat, penyerobotan lahan petani, jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat kecil yang tidak kunjung terwujud", tidak lagi menjadi pilihan topik favorit pembicaraan mereka. Topik yang menarik berubah menjadi misalnya; kesiapan menghadapi era revolusi digital "four point o", kesiapan sumber daya manusia Indonesia menghadapi era perdagangan bebas dan isue-isue ala milenial lainnya.   

Jika aku dimintakan pendapat jujur setelah melewati 5 Presiden sejak rezim Pak Harto tumbang, persoalan-persoalan bangsa Indonesia sebagaimana aku kemukakan di awal tulisan masih belum tuntas, bahkan sekarang persoalan korupsi masih membelit kencang hingga mencekik negeri ini. Meski harus diakui juga ada perubahan besar dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia yang tidak mungkin dirasakan di era pak Harto, yakni kebebasan netizen di media sosial dan kekuasaan ekonomi tidak lagi dikuasai lingkungan "Cendana" namun kelompok-kelompok elit baru bermunculan. 

Aku jadi teringat dahulu ketika aku dan teman-temanku saat masih menjadi mahasiswa dan bersama menjadi demonstran, kami menganggap bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Pertanyaannya adalah; apakah saat ini Indonesia sudah berubah menjadi baik-baik saja seiring dengan kondisi ekonomi para aktivis yang semakin sejahtera?, sehingga topik kesejahteraan bangsa yang belum terwujud dan kemakmuran yang baru dinikmati oleh segelintir kelompok elit negri tidak lagi menarik dibahas. Ini bukan sebuah pernyataan berbentuk pertanyaan, namun aku sedang sedang bertanya pada diriku sendiri.

Pertanyan-pertanyan itu membawaku kepada sebuah pemahaman baru atas persoalan bangsa ini, bahwa ternyata semua tidak dapat dinilai secara "hitam-putih" belaka. Di sana ada wilayah abu-abu, atau polos saja alias tanpa warna, atau bahkan terkadang berwarna-warni begitu indahnya. Aku sudah semakin ke fase sintesa pikir bahwa "Bung Karno ada baiknya ada tidak baiknya, Pak Harto ada baiknya ada tidak baiknya", kurang lebih seperti itu metaforanya jika pendekatannya "politis".  

Menurutku saat ini yang penting adalah bagaimana hidup bisa memberi manfaat nyata ke masyarakat sekitar meskipun dengan hal yang nampak remeh, misalnya memberi sekedar seribu atau dua ribu rupiah atau sepatutnya kepada "polisi putar balik" di jalan raya.

*********

Pemuda, khususnya kelompok mahasiswa adalah anak zaman. Ia dengan segenap jiwa idealismenya dan nalar kritisnya akan selalu menjadi antitesis bagi generasi sebelumnya.  Ia harus dan akan selalu hadir untuk memberi koreksi kepada kesalahan-kesalahan lama, atau menegur penguasa, demi masa depan yang lebih baik untuk bangsa ini. Mereka masih polos tidak terkontaminasi kepentingan politik praktis dan belum terdesak kebutuhan hidup, terlepas mereka aktivis atau non-aktivis. 

Menyaksikan ada pemuda, setelah membaca novel bertema distopia dari George Orwell dalam buku 1984 atau Animal Farm, atau selesai membaca tulisan tentang Che Guevara, atau setelah membaca ide-ide dan wacana-wacana apapun, kemudian mereka menyimpulkan; "Indonesia sedang tidak baik-baik saja", membuatku tersenyum. 


#selesai#    

    


Jumat, 14 Desember 2018

Sehari Bersama Max Havelaar

Antara 2 hari di akhir pekan yakni Sabtu dan Minggu, aku lebih suka hari Sabtu. Sabtu adalah hari libur yang lepas dari memikirkan esok harinya. Beda hal dengan hari Minggu yang meski hari libur namun ada perasaan gundah, karena esok harinya Senin harus kembali beraktivitas ke kantor bagi si karyawan, atau ke sekolah bagi si pelajar. Sabtu pekan ini aku mengajak beranjangsana istri serta anak-anakku ke pantai Goa Langir yang terletak di Lebak, Banten Selatan, tepatnya di sebuah kota kecil bernama Bayah. 

Mendengar nama Bayah terlintaslah dalam pikiranku satu nama dari seseorang di zaman dahulu kala, orang itu bernama Tan Malaka. Bisa dibilang ia pelopor awal kemerdekaan Indonesia. Di tahun 1921 dia menuangkan pemikiran dalam sebuah tulisan yang diberi judul “Naar Republik Indonesia”, yang berarti Negara Republik Indonesia. Jauh sebelum Proklamasi kemerdekaan tahun 1945 dia sudah memikirkan konsep bentuk Indonesia kelak, maka tak salah jika ada yang menganggapnya Bapak Republik Indonesia. 

Tan Malaka pernah singgah di Bayah dengan nama samaran Ilyas Hussein. Dia menyamar menjadi pekerja kasar di lokasi penambangan batu-bara, setelah bertahun-tahun melanglang-buana ke berbagai negara asing. Di tahun 40an sesaat sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, suatu malam dia bertamu ke rumah K.H Wahid Hasyim di Jakarta, yang tak lain ayah dari Abdurahman Wahid atau yang kita kenal sebagai Gus Dur. Antara K.H Wahid Hasyim dengan Tan Malaka memang sudah terjalin persahabatan, maksud kedatangannya selain berdiskusi soal bangsa, Tan Malaka mengatasnamakan Pemuda Bayah juga menyatakan dukungannya atas rencana Proklamasi kemerdekaan Indonesia agar dilaksanakan sesegera mungkin.

Bayah adalah kota kecil yang menghadap langsung dengan Samudera Indonesia di pesisir selatan Pulau Jawa. Kota ini masuk ke dalam wilayah Kabupaten Lebak, provinsi Banten. Pantai Goa Langir terletak tidak jauh dari pusat kota Bayah. Pantainya indah, dengan hamparan pasir putih yang panjang, merupakan bagian dari pantai Sawarna. Di lokasi pantai Goa Langir terdapat 3 Goa lainnya yakni Goa Kanekes, Goa Harta Karun dan Goa Seribu Candi yang menggenapkan eksotisme suasana pantai itu. 

Goa Langir adalah goa terbesar, mungkin karena itulah nama lokasi pantainya dinamakan demikian. Aku mengambil rute perjalanan dari arah Malingping, masih di daerah pesisir selatan Lebak. Bukan tanpa alasan juga aku mengambil rute ini, karena kebetulan istriku dibesarkan di sebuah desa bernama Panjaungan, yang terletak antara Malingping dengan Bayah. Setiap hari raya Idul Fitri mesti kami mudik ke Panjaungan, jadilah aku sudah terbiasa dengan jalur ini. Memang sekalian juga liburan keluargaku ini menjenguk mertuaku di Panjaungan yang rencananya kami kunjungi sehabis dari pantai Goa Langir. 

Berangkat dari rumah di bilangan Jakarta Timur pukul 5 subuh, sampai di Malingping sekitar pukul 10 pagi menjelang siang. Sambil melepas lelah dan meluruskan kaki karena penat mengendarai mobil beberapa jam kami singgah dahulu di sebuah toko serba ada sekalian membeli bekal makanan ringan. “Wah, panas ya..”, kataku kepada anak-anak. Hari itu memang cerah, matahari bersinar dengan teriknya. Aku melirik kepada alat deteksi suhu yang terpasang di mobil, menunjukan angka 32 derajat celcius. Jam berapa sampai di pantai yah?”, tanya anakku yang paling besar. Aku jawab sekitar jam 12, pas waktu makan siang. 

Sepanjang perjalanan dari Malingping ke Bayah mulai dari suatu desa bernama Sukahujan kami disuguhi pemandangan pantai dan lautan lepas yang sedap dipandang mata. Sungguh sebuah terapi melepas penat dari tekanan bagi aku yang sehari-harinya bergelut dengan kemacetan jalan raya di Jakarta.

Ayah matikan ac-nya ya. Kita buka kaca aja”, ujar aku kepada istri dan anak-anak. “Yahh…jangan yah, gerah”, protes semua di dalam mobil. “Engga, percaya deh”, balasku. Pengatur suhu aku matikan, kaca mobilnya aku buka. Tidak berapa lama kemudian angin sejuk berhembus mengalir masuk ke dalam mobil, terasa kesejukan yang alami. 

Berbarengan dengan mengalirnya hembusan angin ke dalam mobil menyeruak pula suatu aroma yang khas, aroma lautan. Aku tidak dapat menerka dengan pasti sebenarnya aroma apakah itu, apakah berasal dari pasir pantai, air laut, rumput laut, hanyir ikan, tetumbuhan pantai, atau gabungan dari semuanya itu. Yang pasti aroma itu mampu menggugah indera penciumanku hingga memberikan efek rasa ketenangan dan kedamaian. 

Senang rasanya terbebas dari bau asap knalpot kendaraan yang memenuhi udara kota Jakarta. Aku melirik kepada istriku di sampingku ia Nampak menikmati perjalanan, mungkin sambil mengenang masa-masa sekolahnya dulu bersama sahabat-sahabatnya. Demikian juga anak-anakku di kursi belakang, mereka menatap ke arah lautan dengan deburan ombaknya. 

Sudah 8 tahun pernikahanku dengan istriku namun baru kali ini aku berkesempatan mengajak anak-anakku ke pantai Goa Langir. Jika libur mudik pantai-pantai di lokasi wisata jadi terlalu ramai oleh para wisatawan baik dari sekitar Lebak maupun dari luar Lebak, bahkan tidak sedikit wisatawan dari kota-kota lain di luar Banten. Aku jadi enggan ke lokasi wisata di masa libur lebaran karena rasanya sudah bosan dengan kepadatan kota Jakarta, tidak ingin lagi harus berdesakan dengan banyak orang. 

Tapi bukan berarti tidak mengajak piknik keluarga ke pantai samasekali, karena mulai dari Sukahujan sampai ke Bayah adalah garis pantai yang sangat panjang maka aku mengajak keluargaku mengunjungi pantai-pantai lain yang sepi namun pemandangannya tidak kalah indah. Berada di pantai yang sepi rasanya seolah menjadi pantai pribadi. 


Ayah, lihat itu di pinggir pantai ada tembok tebal seperti bekas jembatan!, apa itu ayah?”, kata anak bungsuku memecah keheningan. Aku melihat kepada reruntuhan tembok tidak jauh dari pantai yang ditunjuk anakku. Memang setahuku dari kisah sejarah di zaman kolonial Belanda di Bayah ini merupakan jalur kereta api untuk mengangkut komoditas batu-bara. Bekas jalur kereta api sudah mulai tampak mulai dari daerah Saketi. Aku pikir ini menarik juga sebenarnya jika jalur ini diaktifkan kembali untuk wisata sejarah, apalagi di jalur Bayah ini pemandangannya lautan lepas pasti akan sangat menarik wisatawan. 

Iya sayang, itu bekas jalur kereta api batu-bara zaman Belanda”, terangku kepada si bungsu. Sejenak pikiranku menerawang, “Gila juga ya orang Belanda dulu itu, mencari kekayaan negri ini sampai ke pelosok Bayah begini di zaman kuda gigit besi. Seperti apa wilayah Lebak selatan ini di zaman dulu?, sekarang saja masih cukup banyak hutan belantara”. Aku pikir Lebak memang menarik baik dari potensi alamnya seperti pantai-pantainya yang indah maupun kisah-kisah sejarahnya.


Bicara secara soal sejarah, di Lebak inilah terjadi dialektika awal lahirnya sebuah bangsa bernama Indonesia yang tercatat dalam sejarah hingga gaungnya mencapai negeri-negeri di barat khususnya Eropa. Adalah cikal-bakal kesadaran rakyat Indonesia sebagai sebuah bangsa yang ingin merdeka dari lepas penjajahan. 

Hal tersebut dikarenakan sebuah novel berjudul “Max Havelaar” yang ditulis seorang Belanda dengan nama pena Multatuli, nama sebenarnya adalah Eduard Douwes Dekker. Multatuli berasal dari bahasa latin yang berarti “aku yang telah banyak menderita. 

Max Havelaar pertama kali diterbitkan di tahun 1860, berkisah tentang kesengsaraan rakyat jelata Lebak akibat penindasan yang dilakukan oleh penguasa kolonial Belanda maupun penguasa pribumi. Diceritakan dalam novel itu rakyat Lebak dipaksa menanam kopi sebagai bagian dari sistem tanam paksa (culture stelsel) untuk kemudian harus dijual kepada penguasa dengan harga sangat murah, belum lagi pajak tinggi yang harus dibayarkan kepada penguasa setempat yakni Regent atau Bupati, apabila tidak mampu membayar pajak maka harta milik rakyat yang paling berharga yakni kerbau akan diambil paksa sebagai ganti. Sedangkan kerbau kala itu adalah hewan yang sangat berarti bagi rakyat karena tenaganya digunakan untuk membajak sawah. Dapat dibayangkan betapa sengsaranya kehidupan rakyat Lebak. 

Max Havelaar membuat mata dunia menoleh kepada East Indies, sebutan untuk Indonesia saat itu. Masyarakat barat bagaikan terperangah mengetahui ada eksploitasi rakyat yang demikian buruknya di belahan bumi lain, sampai-sampai di negeri Belanda sendiri terjadi kegemparan yang memaksa pemerintah kolonial akhirnya mengeluarkan kebijakan Politik Etis atau Politik Balas Budi. 

Politik Etis mengharuskan pemerintah kolonial Belanda lebih memperhatikan nasib negeri jajahan agar tidak melulu mengeksploitasi kekayaan alamnya dan menindas rakyat pribuminya. Salah satu poin Politik Etis adalah di bidang pendidikan, dengan memberikan kesempatan kepada kaum pribumi untuk mengenyam pendidikan formal di bangku-bangku sekolah. Dari sanalah kelak lahir kaum intelektual pribumi yang memiliki kesadaran menuntut kesamaan hak sebagai manusia dan kemerdekaan sebagai bangsa.

*******

Kecepatan sedang saja aku mengendarai mobil, sambil menikmati suasana jalan raya pesisir selatan Lebak yang tidak padat oleh kendaraan lain, bebas hambatan dan nyaris tidak berkelok seolah lurus saja, dengan suguhan pemandangan pantai yang indah. Tidak terasa sudah di pintu masuk wisata pantai Goa Langir. Aku toleh jam tanganku, pukul 11 lewat sedikit. Lebih cepat dari perkiraan ternyata. 

Di gerbang lokasi wisata ditunggui oleh beberapa orang petugas retribusi tiket masuk ke pantai. Tiket masuknya hanya 5000 rupiah per orang saja, untuk mobil tidak dikenakan biaya alias gratis. Kawasan pantai Goa Langir masih merupakan bagian dari komplek pantai Sawarna yang sudah lebih dahulu dikenal banyak wisatawan dengan karang Tanjung Layarnya, namun memiliki daya tarik berbeda pantai Sawarna. 

Di lokasi wisata pantai Goa Langir dari gerbang hingga menuju pantainya tidak terdapat pemukiman penduduk. Akses jalannya bersisian dengan bukit batuan karst setinggi kira-kira 25 meter sampai 50 meter. Pada gugusan perbukitan itulah terdapat 4 buah goa di bagian bawahnya.

Tidak jauh dari gerbang tadi aku melihat di sisi sebelah kiri jalan terdapat warung yang memiliki lahan parkir cukup lega untuk mobilku. “Kita parkir di situ aja ya, sekalian makan siang”, kataku kepada istri. Istriku setuju, terlebih anak-anakku mereka sudah lapar katanya ingin segera bersantap siang. Kami sengaja membawa makanan dari rumah karena niat kami memang piknik, “tapi minumnya kita beli ke warung yang punya lahan parkir ya, ga enak masa parkir di tempatnya tapi ga jajan ke warungnya,” sambungku. 

Terasa nikmat sekali santap siang kami, karena memang lapar dan pemandangan pantai di tempat kami singgah luar biasa indah. Panoramanya hamparan pasir putih dan cerahnya siang hari itu dengan biru langitnya yang sempurna. Pasir putih pantainya seolah memantulkan kembali sinar matahari yang menerpanya sehingga suasana menjadi seperti berkilauan. Aku takjub dengan pemandangannya. “Subhanallah, indah banget ya”, gumam istriku. Lokasi tempat kami makan siang itu dinaungi oleh rindangnya pepohonan, sehingga seberapa teriknya pun tetap terasa sejuk. “Ini macam surga dunia, hehe”, candaku.

Selesai juga bersantap, tiba waktunya menjelajah pantai Goa Langir. Aku ijin parkir saja mobilku di tempat ini kepada ibu pemilik warung. Ibu warung mempersilahkan dengan ramah. Tujuan utamaku mengajak keluarga ke pantai Goa Langir adalah mengunjungi pantainya yang memang terbukti indah. Namun setelah melewati saja 3 goa tanpa masuk ke dalamnya begitu tiba di mulut goa yang letaknya paling ujung dan terbesar yakni goa Langir ada terbesit rasa penasaran masuk ke dalamnya. 

Sayang sekali istri dan anak-anak enggan turut masuk ke dalam goa, “engga ah, takut”, kata mereka kompak. “Ga jauh sampai ke dalam banget, paling 10 meteran aja masuknya, penasaran dalamnya seperti apa”, aku coba membujuk mereka. Sia-sia mereka tetap enggan. Akhirnya aku memberanikan diri masuk seorang diri hanya mengandalkan cahaya lampu senter dari telpon genggamku. Tidak ada persiapan membawa senter memang, karena memang tidak ada niat jelajah goa. Gentar juga rasanya masuk seorang diri, namun rasa penasaran jauh lebih kuat, “ya sudah, ga perlu 10 meterlah masuk ke dalam, cukup hitungan langkah aja, 10 langkah”, aku bertawar nyali dengan diri sendiri.

Di mulut goa aku berhenti sejenak untuk berdoa memohon perlindungan kepada Tuhan, “Bismillah”, gumamku sambil mengambil langkah pertama. Hawa di serambi goa terasa lembab namun ada semilir angin sejuk yang berhembus seolah dari dalamnya. Tiba pada langkah ke tujuh aku menapakkan langkah pada permukaan yang basah dan licin menyebabkan aku kehilangan keseimbangan, aku terjatuh. Aku coba bangkit namun kepalaku terasa berat, kelopak mata ini seakan memaksa aku terpejam saja. Kemudian semuanya menjadi gelap.

*******

Sedikit-sedikit aku mencoba membuka kedua mata ini namun masih terasa sulit rasanya, rasa nyeri masih sedikit terasa di bagian belakang kepalaku. Nampaknya aku terjatuh di dalam goa dan kepalaku terantuk batu. Tak lama kemudian samar-samar telingaku mendengar seperti seseorang sedang berpidato dengan aksen yang cedal.
         
Tuanku Raden Adipati Bupati Banten Kidul dan sekalian para Raden Demang yang menjadi kepala di daerah ini, tuan Raden Jaksa yang menjadi kepala polisi, serta Raden-raden dan Mantri-mantri serta seluruh kepala-kepala di daerah Banten Kidul. Terimalah salam hormat dari saya. Saya tahu diantara tuan-tuan terdapat ketinggian ilmu dan kemurahan hati, dengan demikian saya harap pengetahuan saya terhadap daerah Banten Kidul akan bertambah dengan ilmu tuan-tuan semua." 

"Saya membaca banyak hal-hal yang baik di Banten Kidul, rakyat tuan-tuan memiliki sawah-sawah di lembah-lembah dan adapula di gunung-gunung dan suasana di sini yang demikian damai. Tapi saya lihat rakyat tuan-tuan sekalian miskin. Mungkin karena itulah Tuhan mengutus saya ke tempat ini dimana ada banyak keadaan yang harus dibenahi kembali, untuk itu saya merasa gembira bertugas di tempat ini."

"Di luar sana banyak yang tidak mengerti kemiskinan di Banten Kidul sebab di sini banyak ladang-ladang dan curah hujan yang cukup, tanah yang gembur dan subur. Satu biji padi yang ditanam akan menghasilkan satu batang padi, sungguh mengherankan jika Banten Kidul miskin. Saya yakin ini bukan karena Tuhan menimpakan bencana kepada kita sehingga kita harus berkata; Yang demikianlah sudah kehendak-Nya. Negri kita ini miskin karena banyak kesalahan yang kita lakukan."

Terhenyak aku mendengar pidato seperti itu. Dari mulut siapakah gerangan kalimat-kalimat itu keluar. Sementara aku masih dalam posisi tidur terlentang pada kasur sambil menatap ke atas. Aku mulai merasa ada kejanggalan dengan tempat ini. Model dipan kasurnya seperti sudah sangat tua, terdapat tiang di tiap sikunya dengan atap dan kelambu. Aku paksakan juga untuk duduk disisi dipan, ku sapu segala penjuru kamar, menatap ke bawah ku lihat ubin lantainya bermotif seperti simbol kepanduan internasional berwarna hijau cerah. 

Dimana aku ini?”, tanyaku dalam hati. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh sapaan seseorang, “Je wordt wakker. Goedemiddag meneer!”, kata orang itu, seorang laki-laki berperawakan ras kaukasian atau yang biasa kita sebut “bule”. “Voel je je al gezond?”, sambungnya lagi. Aku semakin bingung dan sedikit panik. “I’m…, I’m sorry sir, I…I don’t understand your language”, balasku dengan terbata. “Ahh… speak English?, where do you come from sir?”, balasnya. “Actually sir, I’am from Indonesia”, balasku lagi. “Indo what?, indo…nesia?, by the name of God, where is that country?, I never heard any country in this world named Indonesia”, sahutnya. 

Aku semakin bingung, sedemikian tidak dikenalkah Indonesia olehnya. “I beg you pardon Sir, but I heard you just spoken in Indonesia”, kataku. “me?, spoken Indonesia?, when?”, tanyanya seperti kepada dirinya sendiri. Tampak olehku dia mengernyitkan dahinya. “Ah... you must be just heard me while I’m giving speech to the Regent, Demang and all Raden under my authority here in Banten Kidul. Well, that’s was Melayu. Jadi kamu bicara Melayu?”, tanya dia lagi kali ini mulai ada senyum di wajahnya dan wajahnya menjelaskan bahwa dia merasa lega, yang mana sebenarnya aku pun merasa demikian. 

Siapa kamu punya nama?”, kembali dia menginterogasiku. “Nama saya Permana tuan”, jawabku sambil menyodorkan telapak tangan mengajaknya berjabat tangan. “Dekker, Eduard Douwes Dekker”, Jawabnya lugas sambil balas menjabat tanganku. Mendengar nama itu aku jadi gemetar, keringat dingin keluar dari pori-pori. “Permana mengapa kamu kelihatan pucat seperti itu?, apakah kamu merasa tidak sehat?”, tanyanya heran. Aku mengumpulkan segenap kesadaran, kekuatan, sebenarnya juga keberanianku. Aku pejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam kemudian ku hembuskan perlahan. 

Aku pasti sedang bermimpi”, ku bicara dalam hati. Sejurus kemudian aku tampar pipi sebelah kananku sendiri, “Plak!”, ternyata terasa perih juga. “Permana kenapa kamu pukul sendiri kamu punya pipi?”, suara Douwes Dekker masih terdengar. Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi kepada diriku. 

Dine!, Dine!, breng me een glas water. Onze gast wordt wakker”, dia seperti memanggil seseorang. Tidak lama seorang perempuan kaukasian masuk ke dalam kamar membawa segelas air putih. “Hallo meneer, hoe gaat het?”, sapanya kepadaku sambil menunjukan senyum ramah. “Hij spreekt geen Nederlands. Hij spreekt melayu”, kata Douwes Dekker kepada perempuan itu. “Oh maaf, silahkan diminum airnya tuan”, kata perempuan itu kepadaku. “Terimakasih Nyonya ….”, balasku. 

Everdine van Wijnbergen. Saya istri dari Eduard”, sahutnya. Tentu saja aku mengetahui nama itu sebagai istri dari Douwes Dekker dari literasi sejarah tentang Max Havelaar yang aku baca. Rasa kebingunganku semakin menjadi-jadi, semua ini sungguh tidak masuk akal, tapi aku berusaha menyembunyikan kesan itu. “Nama saya Permana nyonya”, balasku. 

Kami bertiga kemudian berbincang-bincang kecil. Aku bertanya bagaimana aku bisa berada disini, Douwes Dekker berkata bawahannya menemukan aku tergeletak tidak sadarkan diri di tepi sungai dan membawa aku ke kediamannya sekaligus kantor Assisten Residen Lebak ini. 

Baiklah Permana, silahkan kamu lanjutkan istirahat. Saya masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Mari Dine kita biarkan tamu kita beristirahat”, kata Douwes Dekker sebelum menutup pintu kamar. 

Aku pergi menuju jendela kamar untuk melihat suasana diluar. Tampak olehku beberapa orang berpakaian seperti zaman kerajaan mengenakan beskap khas sunda berwarna hitam dan beberapa orang kaukasian juga mengenakan pakaian resmi berbahan seperti beludru berwarna biru tua dengan bordiran berwarna keemasan. 

Dari kamar bangunan tempatku beristirahat dengan bangunan yang nampaknya seperti kantor tidaklah berjauhan, hanya berseberangan dibatasi taman bunga yang terlihat terawat dengan apik. Ada tiang bendera di tengah-tengahnya, tampak oleh kedua mataku bendera Merah Putih Biru berkibar.

*******

Dentang jam Junghans terdengar bunyinya 7 kali, tadi sore Douwes Dekker berkata bahwa pukul 7 petang waktunya makan malam keluarga. Dia mengingatkan aku agar makan bersama keluarganya di meja makan di ruang tengah. Malam hari di tempat itu sumber penerangannya dari lampu minyak, tidak ada lampu bohlam, tidak ada listrik rupanya. 

Aku berjalan menuju ruang makan. “Selamat malam Permana”, sapa Dine menyambutku. Douwes Dekker sudah duduk di bangku utama meja makan yang posisinya di tengah. “Silahkan duduk Permana”, Douwes mempersilahkan aku. Setelah Douwes memimpin doa secara Nasrani sebelum bersantap kami pun menikmati hidangan.

Makan malam selesai namun aku dan Douwes Dekker belum beranjak dari meja makan. “Tuan Douwes Dekker saya terlupa menanyakan ini tadi siang, kita ini sedang berada dimana?, dan tahun berapakah ini?”, dua pertanyaan sekaligus aku utarakan. Douwes Dekker menjelaskan bahwa sekarang sedang berada di Rangkas Betung, ibu kota dari Banten Kidul dan sekarang tahun 1856. 

Mendengar penjelasannya aku jadi termangu. “Ini sungguh tidak masuk akal”, kataku dalam hati. Kemudian dia bercerita tentang tanah kelahirannya di Nederland, kesannya saat pertama kali menginjakkan kaki ke negri kolonial East Indies ini. Dia berkata bahwa dia merasa bersimpati kepada kaum pribumi rakyat jelata yang menurutnya orang-orang yang ramah, bersahaja, jujur dan juga pekerja keras. 

Saat dia bertanya kepadaku tentang asal-usulku aku jelaskan saja bahwa aku adalah kaum pribumi dari masa depan. “Negri ini akan merdeka tuan, negaranya kelak bernama Indonesia yang terdiri dari Sabang di ujung utara Sumatera sampai Merauke, atau New Holland di tanah Papua Barat. Penduduknya terdiri dari beragam suku bangsa dan agama, namun kami berikrar tetap satu sebagai bangsa”. 

Aku jelaskan juga bahwa tanah Lebak tempat dia sekarang bertugas adalah tanah yang subur dan kaya, di bagian selatan terdapat hamparan pantai yang indah. Strata kemasyarakatan di tanah Banten memiliki 3 pilar utama yaitu Umara atau pemerintah, Ulama dan Jawara. Lebak juga memiliki keunikan yang khas yakni terdapat sekelompok masyarakat adat yang tetap mempertahankan budaya leluhur dengan hidup memisahkan diri dengan peradaban dunia luar bernama Suku Baduy. Letak tempat tinggal Suku Baduy tidak seberapa jauh lagi dari Rangkasbitung, ke arah Kanekes. 

Aku uraikan semua yang aku tahu tentang Lebak dan sejarah Indonesia, tampak Douwes Dekker menyimak dengan seksama dan antusias meski tidak dipungkiri juga terlihat raut kebingungan seolah tidak percaya dengan penjelasanku khususnya soal masa depan. 

Tuan Douwes Dekker ke tanah Lebak ini sebagai Asisten Residen, hendaknya tuan dapat melindungi hak-hak dasar rakyat jelata di Lebak ini”, tandasku. “Tentu saja Permana, saat pelantikan jabatan saya sudah bersumpah atas nama Tuhan bahwa saya akan melindungi rakyat dari penindasan, eksploitasi dan pemerasan”, jabarnya. 

Aku menyambung perkataanku kepadanya, “Maukah tuan berjanji kepada saya?, Tuan harus menulis segala pengalaman tuan selama bertugas sebagai Asisten Residen di Lebak ini”, pintaku kepadanya. “Tentu Permana, saya memang selalu menulis dan terbiasa membuat catatan-catatan terkait dengan tugas-tugas saya. Tapi mengapa kamu seperti menekankan perihal Lebak ini?, apakah memang Lebak sedemikian istimewa?, dan apakah tulisan saya tentang Lebak akan dibaca banyak orang?”, tanyanya kepadaku seperti keheranan. 

Aku hanya tersenyum dan mengangguk kecil, bahasa tubuh yang memintanya agar mempercayaiku. Aku tidak dapat membeberkan soal novel Max Havelaar dan nasibnya di masa depan, seperti ada pagar moralitas yang tidak ingin aku lompati dengan menceritakan nasib orang di masa depan seolah mendahului takdir Tuhan.

Tidak terasa waktu telah menunjukan pukul 1 dini hari, Douwes Dekker pamit tidur. Sebelum menuju tempat peraduannya dia memberiku 3 lembar kertas kosong dan pena beserta botol tintanya seraya meminta agar aku menulis semua hal yang menjadi topik diskusi dengannya supaya dia dapat mempelajarinya lebih lanjut soal-soal Lebak ini. Aku menyanggupinya. 

Sampai besok Permana. Selamat malam, selamat beristirahat”, katanya kepadaku. “Sama-sama tuan Douwes Dekker. Selamat malam”, balasku. Aku pun beranjak menuju kamar istirahat tamu di bagian depan rumah ini. Di luar hening sekali, tidak ada suara mesin kendaraan yang melintas, hanya terdengar suara serangga dan burung malam. Rasa kantukku sudah tidak tertahankan, sejadinya aku melemparkan tubuhku ke kasur dipan. Terlelap.

*******

Ayah…ayah..bangun yah!, bangun ayah!”, aku mendengar suara istri dan kedua anakku ditelingaku. Perlahan kubuka kelopak mataku. “Kenapa sekarang aku berada di kamar kediaman mertuaku di Panjaungan”, batinku mengenali kamar ini. Begitu aku membuka lebar kedua belah mataku, semua yang berada di kamar itu mengucap syukur. 

Seseorang dengan kalung stetoskop menghampiriku dan berkata, “Bapak pingsan selama 3 jam, kepala bagian belakang bapak terantuk batu di dalam goa, tapi syukurlah tidak ada tanda-tanda gegar otak”, rupanya dia dokter yang memberiku pertolongan pertama. Aku meraba kepala bagian belakangku, ada perban. 

Ayah sih nekat masuk ke dalam goa cuma pake senter hp”, protes anakku yang sulung. Aku hanya bisa tersenyum tanpa bicara. Aku tidak akan menceritakan apa yang aku alami kepadanya atau kepada siapapun juga. 

Saat semua orang sudah keluar kamar hanya tinggal aku sendirian, aku termenung mengingat apa yang telah ku alami, kemudian meraba kantung kemejaku. Tanganku menyentuh sesuatu benda panjang sekitar 15 sentimeter. Ternyata itu pena tinta yang diberikan Eduard Douwes Dekker kepadaku sebelum pamit tidur.